MAKALAH
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ZAKAT
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Pengantar Ekonomi Mikro
Dosen pengampu: Guntur Kusuma
Wardana, MM
Disusun Oleh :
Moh. Ulul Azmi
Susi Irawati
Uun Hasanah
Widyaningrum
PROGAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam karena
atas izinNya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Sejarah dan
Perkembangan Zakat”, dengan lancar, semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan memberikan manfaat bagi kita semua.
Tak
lupa kami sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini sehingga makalah ini dapat
selesai dengan lancar, dan juga memberikan dukungan baik secara moril maupun
materiil.
Akhir
kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna untuk itu kami penulis mengharap saran dan kritik yang
bersifat membangun demi perbaikan ke arah yang lebih baik. Akhir kata penulis sampaikan
terimakasih.
Genteng, 08 Mei 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HalamanJudul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang
2.Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Zakat
2.2 Macam
- macam Zakat
2.3
Sejarah Zakat
2.4
Yang Berhak Menerima
Zakat
2.5
Macam- Macam Zakat yang
Harus Dipungut
2.6
Prinsip Zakat
2.7
Pemungutan Zakat dan
Keuangan Negara
BAB III PENUTUP
1. Simpulan
2.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Unsur faham sosialis terdapat dalam sistem
zakat yang merupakan satu dari 5 rukun Islam. Unsur ini merupakan prinsip
terdepan dalam pelaksanaan ekonomi Islam, yang secara menyeluruh dapat kita
gambarkan sebagai berikut.
Sifatnya yang pertama, ialah tindakan
perjuangan yang sifatnya negatif, yaitu berjihad menentang kapitalis dengan
menggunakan segala alat dan segala lapangan.
Adapun dalam sifatnya yang positif, ia
menuju pembentukan suatu ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan dan bersendikan
pada kesetiaan persaudaraan. Segala asas yang berpangkal pada pendirian
tersebut ditegakkan sebaik-baiknya oleh Islam.
Ekonomi Islam ditegakkan oleh semangat hubbi wal ihsan, (cinta mencintsi daan
berbuat kebajikan), yaitu setiap orang mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri. Ekonomi Islam berjiwa Infaq wal birru, (berani berkorban dan membuat kebajikan) kepada
segala makhluk yang miskin dan fakir.
Ekonomi Islam mempunyai karakter itsar, (sanggup menderita kesukaran dan
kepahitan ) karena mengutamakan kepentingan orang lain dan masyarakat umum .
Ekonomi Islam memegang teguh sistem ta’awun wa syikah,(hidup kolektif
kerakusan dan ketamakan di pihak yang mampu dan rasa putus asa bagi
pengangguran di pihak yang tidak mempunyai.
Ringkasnya, ekonomi dalam islam mengandung
dasar-dasar keutamaan dan kebahagiaan serta kemakmuran bersama dan
menghilangkan jurang pemisah yang membedakan si kaya dan si miskin.
Dalam praktiknya yang pertama, sudah
diterangkan pada bagian lalu, Nabi membuat perjanjian kesetiaan dan
persaudaraan di antara 45 orang kaya (the
have) dari golongan kaum Ashar dengan 45 orang dari yang tidak mampu (the have not) dari golongan kaum
muhajirin. Dengan suka rela, mereka yang kaya meleburkan hak miliknya menjadi
kepunyaan bersama, dan dengan hati yang ikhlas, hak waris dari anak istri dan
keluarganya menjadi hak waris bahkan masih dalam waktu pembentukan. Oleh sebab
itu, dasar yang terlepas daei campur tangan pemerintahan negara.
Sesudah negara Islam berdiri kuat. Turunlah
perintah zakat sebagai rukun ketiga dari kelima rukun Islam (arkanul Islam). Zakat ialah pengambilan
sebgian harta kepunyaan orang-orang yang mampu untuk menjadi milik orang yang
tidak mampu. Pengambilan wajib ini dilakukan pada tiap tahun sebagai iuaran
kemanusiaan dari orang-orang yang mampu untuk mencukupi hidup orang yang tidak
mampu. Negara dapat memaksa dengan hukum kekerasan supaya tiap orang yang mempunyai
harta menurut nishab (minimal) yang sudah ditetapkan menunaikan kewajiban
zakatnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan pengertian zakat?
2. Apakah
yang dimaksud dengan macam- macam zakat?
3. Apakah
yang dimaksud dengan sejarah zakat?
4. Siapakah
yang berhak menerima zakat?
5. Apakah
macam- macam zakat yang harus dipungut?
6. Apakah
yang dimaksud dengan prinsip zakat?
7. Apakah
yang dimaksud dengan pemungutan zakat dan keuangan negara?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Memahami
dan mempelajari pengertian zakat.
2. Memahami
dan mempelajari macam - macam zakat.
3. Memahami
dan mempelajari sejarah zakat.
4. Memahami
dan mempelajari yang berhak menerima zakat.
5. Memahami
dan mempelajari macam- macam zakat yang harus dipungut.
6. Memahami
dan mempelajari prinsip zakat.
7. Memahami
dan mempelajari pemungutan zakat dan keuangan negara.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Zakat
Zakat
menurut lughah (bahasa), berarti nama’=
kesuburan, thaharah = kesucian, barakah = keberkatan dan berarti juga tazkiyah tathier = mensucikan. Syara’
memakai kalimat tersebut dengan kedua-dua pengertian ini.
Pertama,
dinamakan pengeluaran harta ini dengan zakat, adalah karena zakat itu merupakan
suatu sebab yang diharap akan mendatangkan kesuburan atau menyuburkan pahala.
Karenanya dinamakanlah “harta yang dikeluarkan itu”, dengan zakat.
Kedua,
dinamakan harta yang dikeluarkan itu dengan zakat, adalah zakat itu merupakan
suatu kenyataan dan kesucian jiwa dan kekikiran dan kedosaan.
Al
Imam An Nawawi mengatakan, bahwa dinamakan pengeluaran ini dengan zakat, adalah
karena terdapat padanya makna yang dimaksudkan oleh bahasa (kesuburan).
Kalimat
zakat adalah suatu kalimat yang dipakai untuk dua arti: kesuburan dan suci.
Dia
dipakai untuk nama bagi sedekah yang wajib bagi sedekah yang sunat, nafakah,
kemaafan dan kebenaran. Demikian Ibnul ‘Arabi menjelaskan pengertian zakat.
Abu
Muhammad Ibnu Qutaibah mengatakan, bahwa: “lafadz zakat diambil dari kata zakah
yang berarti nama, = kesuburan dan penambahan.
Dinamai
harta itu dengan zakat, adalah karena dia menjadi sebab bagi kesuburan harta.
Abu
Hasan Al Wahidi mengatakan bahwa: “zakat itu mensucikan harta dan
memperbaikinya, serta menyuburkannya. Menurut pendapat yang lebih nyata, zakat
itu bermakna kesuburan dan penambahan serta perbaikan. Asal maknanya,
penambahan kebaikan.
Kalimat
“zakat” dalam alquran disebutkan secara ma’rifah sebanyak 30kali. 8kali
diantaranya terdapat dalam surat makiyah da selainnya terdapat dalam
surat-surat madaniyah. Dan tiadalah kalimat zakat terdapat berbareng dengan shalat
sebanyak 82 kali sebagai yang dikatakan oleh pengarang fiqhus-sunnah dan oleh
beberapa pengarang sebelumnya. Yang benar-benar bergandengan dengan shalat
hanyalah pada 28 tempat sahaja.
Dalam bahasa arab sering dikatakan:
“si anu seorang yang zaki, yakni: seorang yang bertambah-tambah kebajikannya.
“dan dinamakan bagian harta yang dikeluarkan utuk diberikan kepada fakir miskin
dengan zakat, adalah lantaran zakat itu menyuburkan harta dan memeliharakan
dari bencana.
2.2Macam- Macam Zakat
Zakat itu, menurut garis besarnya
terbagi dua:
1. Zakat
Mal, (zakat harta) : yakni zakat emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan
(buah-buahan dan biji-bijian) dan
barang perniagaan.
2. Zakat Nafs, yakni zakat jiwa yang dinamai
juga dengan zakatul fithri (zakat
yang diberikan berkenaan dengan telah selesai mengerjakan shiyam (puasa) yang
difardlukan. Di negeri kita ini, bisa disebut dengan nama “fithrah”.
Kemudian
harus lagi dimaklumi, bahwa para ulama telah membagi zakat yang temasuk
kedalamnya fithrah, kepada dua bagian pula:
1.
Zakat harta yang nyata (harta yang lahir) yang terang dilihat umum, yaitu: zakat binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan
dan barang-barang logam.
2.
Zakat harta-harta yang tidak nyata, yang dapat disembunyika. Harta-harta yang
toidak nyata itu, ialah: emas, perak,
rikaz dan brang perniagaan.
Adapun
fithrah, maka setengah ulama memasukkannya kedalam golongan harta lahir.
Menurut lahir nash Asy Syafi’iy: Fithrah itu, masuk golongan zakat harta
bathin.
Kata
Ahmad: aku amat suka diberikan fithrah kepada sulthan (penguasa).
Para
ulama berkata: sebabnya barang perniagaan dipandang harta bathin, (tiada
nyata), adalah karena ia tidak diketahui oleh yang melihat, apakah ia (barang
perniagaan itu) buat di perniagakan, atau bukan.
Dan
merka berkata pula: barang perniagaan (mata benda), tiada menjadi perniagaan,
melainkan dengan cukup beberapa syarat (syarat-syarat ini, akan diterangkan di
kala menerangkan zakat tijarah).
Apabila sebab (illat) yang
dikemukakan oleh para ulama itu kita perhatikan, niscaya kita dapat memasukkan
zakat perniagaan kedalam zakat harta yang nyata, jika barang perniagaan itu
diketahui benar untuk perniagaan, seperti barang perniagaan yang terdapat di
sesuatu kedai koperasi yang telah diumumkan, bahwa segala barang yang ada di
dalamnya, untuk diperniagakan.
2.3 Sejarah Zakat
1.
Sejarah Zakat Mal
Zakat
mal, atau zakat harta benda, telah difardlukan Allah sejak permulaan islam,
sebelum nabi s.a.w. berhijrah ke kota madinah; kota Anshar yang munauwarah.
Tidak heran kita, urusan ini amat lekas diperhatikan islam, karena urusan
tolong-menolong, urusan yang sangat dihajati oleh pergaulan hidup, amat
diperlukan dan dikehendaki oleh segala lapisan rakyat.
Hanya,
pada mula-mulanya zakat difardlukan tanpa ditentukan kadarnya dan pula-pula
diterangkan dengan jelas harta-harta yang diberikan zakatnya. Syara’ hanya
menyuruh mengeluarkan zakat. Banyak sedikitnya terserah kepada kemauan dan
keridlaan para penzakat sendiri. Demikian keadaan itu berjalan sehingga tahun
kedua dari hijrah. Mereka yang menerimanya pun pada masa itu, dua golongan
saja, yaitu: faqir dan miskin.
Pada
tahun kedua yang dari hijrah bersamaan dengan tahun 623 masehi, barulah syara’
menentukan harta-harta yang dizakatkan, serta kadarnya masing-masing.
Karena
demikian, berkatalah setengah ulama: “sesungguhnya zakat itu difardlukan sejak
dari tahun yang kedua dari hijrah”. Dalam pada itu yang menerimanya, masih
belum dibagi kepada tujuh atau delapan bagian itu.
Ketetapan
pembagian ini, yakni pembagian kepada fakir miskin saja, kita istinbath:
a.
Dari firman Allah s.w.t :
“jika kamu lahirkan pemberian sedekahmu,
maka itulah pekerjaan yang sebaik-baiknya.
Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, kamu serahkan kepada orang faqir, maka itulah yang lebih baik
bagimu”. (Q.A. 271. S. 2 : Al
Baqarah).
Ayat
yang tertera ini diturunkan dalam tahun yng kedua hijrah. Dengan memperhatikan
tahun turunnya, kita mendapat kesan bahwa zakat itu, hingga tahun yang kedua
dari hijrah itu dan beberapa tahun lagi sesudahnya, diberikan kepada faqir
miskin saja.
b.
Dari hadist yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rosul s.a.w. bersabda kepada mu”adz dikala
junjungan mengutus mu’adz pergi ke yaman
guna menjadi wali negeri dan menjadi kepala pengadilan, sabdanya:
“sesungguhnya Allah menfardlukan atas mereka
mengeluarlkan zakat; yang diambil
dari orang kaya mereka, lalu diberikan kepada orang orang faqir mereka”.
Pada dua golongan ini saja, hingga
tahun yang kesembilan dari hijrah.
Kita menyatakan pembagian zakat tetap
sedemikian saja sehingga tahun kesembilan, adalah karena ayat yang menerangkan,
bahwa bagian-bagian yang menerima zakat, tujuh atau delapan. Turunnya pada
tahun kesembilan dari hijrah.
Pada
tahun yang kesembilan dari hijrah, barulah Allah menurunkan ayat “60” dari
surat IX, yakni surat At Taubah, bagian-bagian (mereka-mereka) yang boleh dan
berhak mengambil zakat dan menerimanya.
Dalam
pada itu tidak juga Nabi bagi penuh delapan, hanya Nabi s.a.w. memberikannya
kepada suku-suku yang dipandang perlu menurut kebutuhan dan kehajatannya dari
suku-suku delapan itu.
Dan
untuk menambah ketegasan yang tersebut, perhatikan keterangan yang dibawah ini:
Nabi
s.a.w. mengutus mu’adz pergi ke yaman dengan menyuruh mengambil zakat dari
orang-orang kaya, memberikannya kepada orang-orang faqir, adalah pada tahun
yang kesepuluh sebelum Nabi s.a.w. pergi mengerjakan hajji wada’. Demikian
menurut keterangan Al Bukhari.
Kata
Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya; “Mu’adz
ke yaman pada tahun 10 hijrah, di bulan Rabi’ul Akhir.
Dalam
pada itu, menurut kata Al Waqidi: Mu’adz ke yaman itu pada tahu kedelapan atau
tahun yang kesembilan di ketika nabi s.a.w. kembali dari Tabuk.
Maka,
jika kita ambil riwayat yang menerangkan Mu’adz ke Yaman pada tahun kedelapan
tau kesembilan. Kita mendapat kesan dari padanya, bahwa: zakat itu, hingga
tahun-tahun itu, masih dibagi kepada faqir miskin saja.
Dan
jika diambil riwayat Bukhari dab Ibnu Sa’ad, maka ia menegaskan, bahwa zakat
itu boleh diberikan kepada sesuatu shinf (golongan) dari yang delapan itu,yaitu
golongan yang dipandang lebih berhajat menurut kemaslahatannya.; dan
menegaskan, bahwa ayat “60” itu bukan memastikan zakat dibagi delapan, atau
sebanyak yang ada diketika membaginya, hanya menerangkan bahwa: Yang berhak
menerima zakat itu delapan bagian saja. Orang yang tidak masuk kedalam golongan
yang delapan, tiada berhak menerima zakat.
2. Sejarah Zakat Nafs
Pada
suatu hari ditahun yang kedua dari hijrah, bersamaan dengan tahun 623 masehi,
sebelum syara’ menentukan harta-harta yang dizakatkan dan kadarnya
masing-masing, yakni: sebelum syara’ mengadakan aturan-aturan yang jelas
terhadap zakat mal, Nabi s.a.w. mengumumkan dihadapan para sahabat beberapa
kewajiban islam. Di antara butiran tutur kata beliau pada hari itu, ialah: ‘kewajiban mengeluarkan zakat nafs, (zakatul
fithri) yang sangat terkenal didalam masyarakat kita dengan nama fithrah.
Nabi
umumkan yang demikian itu,pada dua hari lagi sebelum ari raya puasa (idul
fithri), yang pada tahun itu juga baru dimulai. Pada hari itu, Nabi s.a.w.
berpidato diatas mimbar didalam masjid menerangkan kewajiban dan kefardkuan
fithri sebelum pergi ketempat sembahyang hari raya; yakni sebelum sembahyang
hari raya.
Dan
apabila Nabi s.a.w. membagi zakat nafs ini kepada faqir miskin saja juga,
sebagai keadaan membagi zakat harta pada sebelum diturunkan ayat “60”; bahkan
sesudahnyapun Nabi s.a.w. sangat mementingkan faqir miskin, sehingga ada ulama
yang mengatakan bahwa zakat nafs ini hanya diberikan kepada mereka faqir miskin
saja.
Dari
pekerjaan Nabi s.a.w dapatlah diketahui, bahwa hendaklah kita mementingkan
faqir miskin dikala membagi zakat nafs, dan boleh kita habiskan zakat nafs
untuk keperluan faqir miskin saja.
Kebolehan membagi zakat keopada
selain daripada faqir miskin. Adalah karena mengingat kepada ayat “60” tersebut
menyebabkan kurang perhatian kita kepada faqir miskin atau menyebabkan kita
menyamakan haq faqir miskin dengan hak bagian-bagian lain.
2.4 Yang Berhak Menerima
Zakat
Kitab suci Al-Quran dalam surat At-Taubah
ayat 60 menetapkan orang–orang yang berhak menerima zakat dari negara. Mereka
terdiri atas delapan orang yang menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dapat
dibagi menjadi 2 bagian:
1. Individu-individu,
terdiri atas enam golongan:
a. Golongan
fakir (fuqoro) yang terlantar dalm
kehidupan karena ketiadaan alat dan syarat-syaratnya.
b. Golongan
Miskin (masakin) yang tidak mempunyai
apa-apa
c. Golongan
para pegawai (‘amilin ‘alaiha) yang
bekerja untuk mengatur pemungutan dan pembagian zakat tersbut.
d. Golongan
orang-orangyang perlu dihibur hatinya (muallafati
qulubuhum), yang memerlukan bantuan materi atau keuangan untuk mendekatkan
hatinya kepada Islam.
e. Golongan
orang-orang yang terikat oleh utang (ghorim), yang tidak menyanggupi dirinya
untuk melunasi utang tersebut.
f. Golongan
orang-orang yang terlantar dalm perjalanan (ibnu sabil), yang memerlukan
bantuan ongkos untuk kehidupan dan kediamannya serta untuk pulang ke daerah
asalnya.
2. Kepentingan
umum dari masyarakat dan negara, terdiri atas dua golongan:
a.
Untuk pembebasan dan
kemeedekaan, bagi masing-masing diri, (individu),suatu golongan, atau suatu
bangsa, yang dinamakan fir riqaab.
b. Untuk
segala kepentingan, masyarakat dan negara, yang bersifat pembangunan dalam
segala lapangan atau pembelaan perjuangan yang dinamakan fisabilillah.
2.5
Macam- Macam Zakat Yang Harus Dipungut
Selain
penetapan pembagian harta-harta zakat yang tersbut dalm Al –Quran, hadist Nabi
yang diriwayatkan oleh Bukhori menyebutkan pula macam-macam benda yang harus
ditarik zakatnya. Jika disimpulkan dapat dibagi empat bagian:
a. Zakat
harta kekayaan yang dinamakan (zakat
an-nuqud), yaitu barang-barang emas dan perak, mata uang, uang kertas, cek,
dan sebagainya.
b. Zakat
hewan yang dinamakan (zakat al-an’am),
yaitu unta, sapi, kerbau, kambing, dan domba.
c. Zakat
perdagangan yang dinamakan (zakat
at-tijaroh), yaitu segala macam barang perdagangan.
d. Zakat
pertanian yang dinamakan (zakat
az-ziro’ah), yaitu beras, gamdum, jagung, dll.
2.6
Prinsip Zakat
Prinsip
zakat ialah harta orang mampu dibagikan kepada orang-orang yang miskin dan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan agama. Pemungutan zakat dilakukan atas
beberapa hal:
a.
Harta kekayaan, ialah
emas, perak, cek
b.
Hewan, ialah unta,
sapi, kambing, kerbau
c.
Barang-barang
perdagangan, ialah segala macam barang perdagangan
d.
Hasil pertanian, ialah
gandum, padi, kurma
Setelah setahun, besarnya zakat yang
dipungut adalah 2,5%. Hasil zakat haruslah dibagikan kepada delapan golongan:
1.
Fakir (orang yang
terlantar hidupnya)
2.
Miskin (orang yang
tidak mempunyai apa-apa)
3.
Amil (para petugas yang
membagikan zakat)
4.
Muallaf (orang yang
baru masuk islam atau lemah imannya)
5.
Ghorim (orang yang
terikat oleh utang)
6.
Ibnu sabil (orang yang
terlantar dalam perjalanan)
7.
Fir riqob ( pembebasan
orang dari perbudakan)
8.
Fi sabilillah (untuk
kepentingan masyarakat dan negara)
2.7 Pemungutan Zakat Dan
Keuangan Negara
1.
Zakat Menjadi Lembaga Negara
Dalam hadis diterapkan bahwa pemungutannya
adalah setiap tahun dan ditetapkan juga besarnya yang harus dikeluarkan yaitu
2,5 %. Juga ditetapkan pula batas minimalnya (nishab) dari tiap-tiap barang yang diwajibkan zakatnya.
Inilah dasar yang tegas dari kewajiban
negara di dalam Islam, untuk mencampuri urusan pembagian harta di antara
manusia. Negara dapat mempergunakan kekuasaannya untuk memakasakan golongan
yang mampu, supaya membayar zakat, untuk meringankan penderitaan hidup dari
golongan yang tidak mampu, atau untuk menyokong kepentingan masyarakat dan
negara. Di samping kewajiban tiap-tiap tahun ini, Islam menyediakan lagi iuaran
kemanusiaan, yang harus ditunaikan pada setiap hari raya Lebaran (Idul Fitri)
yang dinamakan zakat fitrah atau zakat diri sebagaimana diterangkan di atas.
Pemerintah dapat menggunanakan alat
kekuasaannya sehingga seluruh rakyatnya patuh. Di samping zakat-zakat yang
wajib ini, Islam memberikan kekuasaan pula kepada negara supaya meletakan
kewajiban keuangan lainnya atas nama negara terhadap golongan orang-orang yang
mampu. Pedoman yang harus dipegang oleh negara adalah kemakmuran seluruh rakyat
sehingga hilanglah batas-batas antara miskin dan kaya, proletar dan borjuis,
buruh dan majikan.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam kitab
tafsirnya Al-Manar, jus X sewaktu
menafsirkan ayat tentang pembagian zakat yang sudah kita sebutkan di atas,
memberikan uraian panjang lebar mengenai sistem dan organisasi zakat menurut
Islam.
Lebih jauh lagi dia menulis sebagai berikut:
“Maka
terpikullah kewajinban atas seluruh pemimpin pembangunan dan perubahan di
kalangan kaum muslimin, supaya mereka memulai langkah untuk mempertahankan
kehormatan agama, dengan membentuk organisasi pengumpulan zakat dan mengatur
pembagiannya untuk kepentingan orang-orang yang mempersatukan diri dalam
organisasi tersebut.
Dalam anggaran dari organisasi itu haruslah
ditetapkan bahwa bagian untuk golongan orang-orang yang dihibur hatinya (muallafati qulubuhum),dipergunakan
untuk membelanjakan perjuangan menentang haluan anti agama anti-Tuhan yang
sedang berkembang sekarang.
Bagian yang diperuntukan bagi kepentinagan
umum, masyarakat dan negara (fi
sabilillah) haruslah digunakan untuk menghidupkan kembali hukum-hukum
syariat Islam, dan ini termasuk suatu jihad yang terpenting dalam memelihara
agama Islam dari terkaman musuh-musuhnya. Bagian ini dapat juga digunakan untuk
pos lainnya, yaitu menjalankan dakwah Islam dan pembelaan atasnya dengan segala
alat dengan pena dan lisan, apabila pembelaan tersebut sukar dilakukan dengan
ujung senjata dan alat-alat perang modern yang lainnya.”
Begitulah besarnya pengharapan Sayyid Rasyid Ridha terhadap sistem
zakat dlam Islam. Bukan saja memandang
dari susdut stryktur ekonomi, juga memandangnya dari sudut politik dan
perjuangan yang kuat untuk mengembalikan kebesaran Islam.
“Perhatikanlah! Sesungguhnya pemungutan
zakat dan pengaturan pengeluaranya dengan baik, cukuplah sebagai alat untuk
mengembalikan kebesaran Islam. Bahkan, dapat dijadikan senjata untuk merebut
kembali negara-negara Islam yanng dirampas oleh bangsa-bangsa asing dan
membebaskan umat islam dari perbudakan orang-orang kafir. Hanya dengan 1/10
(sepersepuluh) atau 1/40 (seperempat puluh) dari
kelebihan harta milik orang-orang yang mampu.
2.Menimbun
Jurang Pemisah
Bencana yang paling besar dalam ekonomi
ialah masih adanya jurang pemisah antara kaum kaya dengan kaum miskin. Dengan sistem zakat,
Islam menimbun jurang perpisahan tersebut dan membangun suatu hidup yang
harmonis antara segala pihak manusia.
Berdasrkan
prinsip fungsi sosial dalam hak milik inilah, Islam memberikan hak yang besar
kepada negara untuk mencapuri sebgian atau mencabut hak milik tersebut. Jika
perlu, memegang sendiri segla hak yang tadinya menjadi milik perorangan.
Dalam tingkat kekuasaanya, hak negara dapat
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
a.
(Hak memungut), yaitu
hasil dari pengasilan-penghasilan yang diperoleh seorang warga negara dari
kekayaannya.
b.
(Hak perseorangan),
yaitu hak pemerintah untuk mengambil dari tangan perseorangan terhadap
barang-barang yang menjadi hak miliknya, yang tidak dipergunakan sebagaimana
mestinya kepentingan negara dan masyarakat.
c.
(Hak pemilik), yaitu
pemerintah berhak memiliki suatu perusahaan yang memenuhi hajat hidup orang
banyak.
3. Zakat Primer (pokok)
Dalam mengkaji pemasukan dan pengeluaran
negara, kita menghadapi dua kali perkembangan dalam sejarah Islam.
1)
Bersumber pada zakat. Pada zamannya pertama, zaman Nabi, Abu bakar, dan Umar bin
Khatab, pemasukan keuangan bersumber dari zakat yang menjadi salah satu dari
rukun-rukun Islam yang ke lima.
2)
Bersumber kepada Kharaj. Yang secara umum disebut pajak.
Sejak Khalifah Usman bin ‘Affan melepaskan zakat dari tangan pemerintah dan
menyerahkan kepada yang bersangkutan, muncullah secara berangsur-angsur
penggantiannya yang baru kharaj atau pajak. Pengeluaran negara berubah pula
baik prinsip pemakaiannya maupun sasaran yang dituju.
Dalam bukunya yang berjudul Administrative System During the Early
Caliphat’s Time (Sistem Administrasi keuangan pada zaman khalifah yang
pertama), W.M.Gazder menyebutkan perkembangan sumber keuangan negara Islam
sebagai berikut:
Ada empat sumber bagi pemasukan keuangan
negara (Bait Al-Mal), yaitu:
1.
Sumber pertama,
Keuangan yang berasal dari 1/5 dari hasil harta rampasan perang, dan segala
macam sedekah.
2.
Sumber Kedua, berasal
dari uang zakat, 1/10 pengahasilan yang dikutip dari ummat Islam.
3.
Sumber ketiga, berasal
dari uang Kharaj, fai (tembusan/hasil
perang), pajak dan 1/10 pengahasilan yang diterima dari warga yang nonmuslim.
Termasuk juga pungutan yamh berasal dari pengahasilan sewa setahun dari tanah
negara.
4.
Sumber penerimaan dari
hal lainnya.
Setelah mengemukakan sumbr-sumber
keuangan di atas, Gazder menyebutkan pengeluaran keuangan negara yaitu:
Penegeluaran:
1.
Pemasukan yang termasuk
dalam sumber ke 1dan 2 adalah dikeluarkan untuk 8 golongan di bawah ini:
a)
Fakir Miskin
b)
Orang yang terlantar hidupnya
c)
Petugas pengumpul zakat
d)
Orang-orang Mukallaf
e)
Untuk memebebaskan
budak
f)
Orang yang berhutang
yang tidak mampu membayar utangnya
g)
Segala amal dijalan
Allah (fisabilillah)
h)
Orang-orang yang
kekurangan dalam perjalanan (Ibnu Sabil)
2.
Pemasukan yang bersunber
pada bagian 3, digunakan untuk berbagai keperluan dan juga ongkos-ongkos
administrasi yang digunakan untuk pembgian zakat.
3.
Pemasukan yang
bersumber ke-4 digunakan untuk pekerjaan umum, diantaranya pemeliharaan
anak-anak terlantar dan tujuan lainnya.
4. Al-Kharaj yang terlalu
Dominan
Qadhi Abu Yusuf pada zaman khalifah
Harun Ar-rasyid, dalam bukunya Al-Kharaj
tentang sumber pemasukan uang negara dan jalan-jalan pengeluarannya.
a. Pemasukan uang negara (Mawarid Bait Al-Mal)
Abu Yusuf mengatakan bahwa pemasukan
bersumber dari tiga macam berikut:
1.
Khumus
al-ghanim (harta rampasan perang)
2.
Al-Kharaj
(pajak, langsung atau tidak langsung),
pajak di bagi menjadi tiga golongan:
a. Wazhifah al ardhi
al-kharajiyah (Penghasilan atau pemakaian tanah)
b. Jiz-yah
(Pajak perseorangan golongan minoritas yang beragama lain)
c. Usyur
(Bea cukai)
Dalam metetapkan pajak dari ketiga
golongan diatas, negara mempunyai wewenang dalam menentukannya.
3.
Shadaqah(zakat
dan lainnya)
Di
antara ketiganya, Abu Yusuf menitik beratkan pada al-kharaj dan sumber tepokok
yaitu golongan 1 adalah penghasilan dan pemakaian tanah. Karena banyaknya tanah
musuh yang dikuasai Islam dahulu kala, kas negara mendapat hasil darik tiga
jalan:
1. Taqbil al-ardhi
(negara memborongkan tanah kepada seseoran atau badan pengusaha yang berhak
membuka atau menyewakannya).
2. Qathai’(negara
menyerahkan tanah untuk dikerjakan)
3. Ihya mawat al-ardhi
(negara membuat janji dengan seseorang atau seatu badan untuk menghidupkan dan menyuburkan
tanah-tanah yang tandus dan mati)
Pada
bagian inilah Abu Yusuf mengemukakan saran-sarannya yang berharga untuk
memperbanyak kas negara.
b. Pengeluaran uang negara
(Masharif bait al mal)
Abu Yusuf mengutamakan kepentingan
pembangunan dan kebutuhan rakyat, yang dibagi menjadi lima macam. Dua
diantaranya untuk kepentingan pemerintah, yaitu:
1)
Gaji dan uang jasa untuk para pegawai, sipil
dan militer.
2)
Keperluan pemerintahan.
Tiga
macam untuk kemakmuran rakyat yaitu:
1)
Menggali sungai-sungai
dan perbaikan-perbaikannya.
2)
Membuat irigasi bagi
pertanian, jembatan, menggali waduk-waduk dan sebagainya.
3)
Memelihara orang-orang
hukuman, membantu usaha-usha sosial, dan menjamin orang-orang yang cedera dan
miskin.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Zakat
itu merupakan harta yang dikeluarkan pada suatu kenyataan dan kesucian
jiwa,kekikiran dan kedosaan
2. Macam
- macam zakat ada 2 yaitu zakat mal merupakan zakat harta, dan zakat fitrah
yang dibayarkan setelah puasa.
3. Sejarah
zakat mal terjadi pada permulaan islam sebelum nabi s.a.w. berhijrah ke kota Madinah,
sejarah zakat fitrah terjadi pada ditahun yang kedua dari hijrah, bersamaan
dengan tahun 623 masehi, sebelum syara’ menentukan harta-harta yang dizakatkan
dan kadarnya masing-masing.
4. Yang
berhak menerima zakatyaitu fakir, miskin, pegawai pembagian zakat, orang yang
terikat utang tp tdk sanggup melunasi, dan orang terlantar dalam perjalanan.
5. Macam-
macam zakat yang harus dipungut meliputi zakat harta, hewan, pedagangan, dan
pertanian.
6. Prinsip
zakat merupakan harta orang mampu dibagikan kepada orang-orang yang miskin dan
untuk kebutuhan masyarakat dan agama.
7. Pemungutan
zakat dan keuangan negarayaitu zakat menjadi lembaga negara, menimbun jurang
pemisah, zakat primer, dan al kharaj yang terlalu dominan.
3.2 Saran
Zakat merupakan iuran wajib yang
dipungut negara islami dari anggota mampu maka diharapkan bagi golongan mampu
dapat memberikan kelebihan dalam kebutuhan hidupnya untuk orang-orang yang
memerlukan. Sosialaisasi zakat juga diperlukan karena masih ada yang belum
sadar akan pentingnya zakat agar masyarakat yang kurang mampu terbantu dan
mengentas kan kemiskinan.
Daftar
Pustaka
Al-Kaaf
Abdullah Zakiy. 2002. Ekonomi dalam
Perspektif Islam. Bandung. CV Pustaka Setia.
Shiddieqy
Hasbi Ash. 1987. Pedoman Zakat.
Jakarta. PT Midas Surya Grafindo.